Sabtu, 21 Mei 2011

Misteri Apel

Buah apelSella namanya. Ia sangat suka apel. Malah, dia memiliki sebatang pohon apel yang ranum. Batangnya kokoh dan tebal. Ia selalu menantikan musim panen apel, di mana pohon apelnya bertambah rimbun akan buah-buah apel yang merah, lezat, dan segar.

Hari ini, Sella terburu-buru memasuki pagar rumahnya yang terbuat dari kayu jati dan tingginya hanya sebahunya. Lalu, ia menatap pohon apelnya dengan senyuman lebar. Ya, waktunya pesta apel malam ini!
Hari ini, Jum’at, adalah awal musim apel yang amat dinantikan Sella. Sella segera memasuki pintu dapur dan menyapa Ibunya, “Assalamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salam. Kok, buru-buru gitu, Sella?” tanya Ibu lembut. Sella segera masuk ke dalam kamarnya dan mengganti seragamnya dengan baju lengan panjang sesiku warna biru cerah dan celana jins selutut dengan bordir di pinggirannya.
“Ayo pesta apel, Bu!” sahut Sella sembari membawa keranjang rotan kecil. Ia memetik lima buah apel. Setelah dihitungnya dengan ekstra teliti, buah apel di pohonnya ada 26 buah. Setelah dipetiknya lima, tentu saja apelnya tinggal 21 buah! Sella sudah tidak sabar untuk mengunyah pai apel dan meneguk jus apel yang super duper lezatnya.
Sella duduk di bangku kayu panjang yang menghadap kebunnya. Kebun mini yang isinya : sebatang pohon apel, deretan bunga kamboja jepang, dua pot bunga tulip, dan lima jemani yang harganya masih membumbung tinggi. Sella menggigit apelnya. Hmm... lezat! pikirnya.
“Sella, kok makan apel, sih. Makan dulu, dong. Ibu sudah siapkan cap cay kesukaanmu. Terus ada telur orak arik juga! Favoritmu kan, wortel yang diiris tipis-tipis,” panggil Ibu dari dapur yang jaraknya dekat.

“Oke, Bu!” Sella segera membawa keranjang rotannya ke dalam rumah.  Ibu memasukkan apel yang dipetik Sella ke dalam kulkas. Sella duduk di kursi meja makan menghadap piring berisi nasi dengan lauk telur orak-arik yang menggiurkan.
Sella makan dengan lahap. Setelah itu, ia membaca buku yang tadi diajarkan dan belajar untuk pelajaran esok. Setelah mengerjakan PR-nya, Sella mandi, sholat, lalu menonton teve sampai adzan magrib berkumandang.
Esoknya, Sella bersiap-siap. Ia mengecek tasnya, kalau-kalau ada yang lupa. Ibu menyiapkan sarapan dengan lauk ayam goreng, sayur sop, dan semangkuk kecil sambal terasi. Sella makan dengan lahap, lalu menyikat gigi sebentar dan mengenakan kaus kaki dan sepatunya.
“Lho, kok, buah apelku tinggal 15? Bukankah kemarin 21?” gumamnya. “Ibu, Ayah, apakah Ibu atau Ayah memetik enam buah apelku?”
“Tidak. Coba teliti lagi, atau hanya halusinasimu saja. Kamu kadang kurang teliti!” kata Ibu.
Sella bergidik ketakutan. “Apa yang mencuri apelku itu hantu, ya?”
“Hush! Tidak ada yang namanya hantu. Mungkin bukan hantu yang mencuri, tapi anak-anak nakal. Pasti suatu hari mereka minta maaf padamu,” jawab Ibu tegas.
Selama di sekolah, Sella merasa tidak enak. Ia terus memikirkan apelnya. Kalau hanya sebuah tidak apa-apa. Tapi, ini enam, pikirnya dengan jantung berdebar kencang.
Malamnya, Sella sengaja ingin tidur lebih malam, karena ini malam Minggu. Ayah dan Ibu menonton film di tv. Sella membuka sedikit gorden jendela di kamarnya. Lalu, ia melihat kira-kira sepuluh ekor burung sedang mendekati pohon apelnya. Burung-burung itu sangat cantik. Lalu, mereka memakan buah apel Sella. Sella membelalak melihatnya.
Ternyata yang memakan buah apelku itu para burung, gumam Sella. Ayah mengintip Sella. Sebenarnya Ayah dan Ibu ingin menghadiahkan burung untuk Sella karena ia telah masuk tiga besar di kelas. Lalu, Ayah masuk ke garasi dan mengambil kotak yang tertutup kain lusuh warna putih yang sudah pudar.
“Sella... KEJUTAN!!!” seru Ayah dan Ibu mengejutkan Sella. Sella menoleh. Lalu, Ayah memberikan kotak itu pada Sella. Sella takut membukanya.
“Cuit! Cuit!” Sella menatap takjub apa isi kotak berwarna hijau itu. Seekor burung parkit berwarna hijau yang sangat manis.
“Terima kasih, Ayah, Ibu!” seru Sella gembira.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar